Jumat, 28 Maret 2014

Gelembung Sabun

taken from: http://images5.fanpop.com


"Kak, udah ah, capek!" teriakku, nafasku tersengal sembari kupegangi lututku yang mulai linu-linu. 


Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik, "Yaelah, baru juga tiga putaran, dasar lemah." 


“Seputaran aja udah serasa keliling Monas, kalau gak gegara Kakak, amit-amit dah sampe tiga putaran,” cibirku.


“Kog gara-gara saya?” dia mulai mengeluarkan tampang pura-pura-polos-dan-gak-ngerti. 


Aku sudah sangat hafal dengan responnya yang seperti itu, bahkan untuk ajakan jogging yang super gak jelas di siang bolong yang gerahnya minta ampun. Dan ini kali terparah setelah ajakannya buat naik bianglala lima kali putaran, cuma biar bisa ngelihat genteng kosannya yang habis dicat warna ijo, ya kali emang bisa?


“Agrrh, terserah, yang penting saya mau duduk.”


Kami duduk di bangku taman, dipayungi dedaunan trembesi, aku mengelap peluh di keningku, kulirik dia yang tengah duduk sambil mengibas-ibaskan tangannya.


“Eh, sebentar,” dia mengeluarkan sebuah botol kecil lalu mengocoknya perlahan. Dan untuk kesekian kalinya aku membatin, apalagi yang akan diperbuat orang ini.


“Main gelembung sabun, yuk,” dia meringis tanpa dosa.


Aku tercengang, nih orang bener-bener gak bisa ditebak apa maunya, mana ada mahasiswa semester akhir jogging siang bolong di tengah kota terus abis itu main gelembung-gelembung sabun yang ditiup pake kawat, terus kejar-kejaran gitu nangkap gelembung, yang lain pada istirahat makan siang, yang ini malah mainan gelembung sabun, ide gila.


“Kog bengong?” Ia menyodorkan botol itu ke tanganku.


Aku ragu menerimanya, “Anu, ini seriusan, Kak?” bahkan suaraku pun terdengar bergetar tak siap menerima kenyataan untuk ide gila yang satu ini. 


Tiba-tiba tawanya meledak, nah loh, aku sempat curiga kalau sistem saraf ini orang agak keganggu. 


“Kamu kog gugup gitu sih? Gak lah, becanda doang.”


Aneh, dia tak pernah semudah itu membatalkan ide gilanya, kalau pun batal pasti perlu tawar menawar dulu antara kita berdua, dan itu gak mudah, aku menang lawan dia aja bisa dihitung pakai jari tangan.


“Kak, kenapa?” aku menatapnya heran.


Seperti tahu kalau aku akan mencercanya dengan sejuta pertanyaan, ia pun berusaha menghindari mataku, memilih menerawang ke langit, “Maksudmu?” Ia menghela nafas, “Saya cuma sedang malas saja,” tambahnya.


“Malasnya bukan gegara panas kan?” aku mencoba mencari celah kejelasan. 


“Haha, ya gak lah, masa seorang Dirgantaru Abyassa takut sama panas, sama Bu Situmorang aja berani.”


Aku terkekeh geli mendengar nama dosen terkiller di fakultas kami disebutnya, ya, Kak Dirga memang dikenal sebagai satu-satunya mahasiswa semester akhir yang berani adu argumen dengan Bu Situmorang, masalah sepele sih, tapi cukup untuk membuat mereka jadi musuh bebuyutan.


“Ati-ati, Kak, bisa-bisa gak dilulusin lo skripsinya, haha,” ledekku.


Ia tersenyum, “Kalau saya lulus, saya bakal gak bisa ketemu kamu lagi,” kali ini nadanya dalam dan rendah.


Meski begitu, seperti biasa, kupu-kupu itu mulai menggelitik perutku lagi, sebentar lalu kuatasi, untungnya aku sudah terlatih di saat seperti ini, “Ceilah, segitu sedihnya, palingan juga bakal ketemu lagi di sekitaran kampus,” jawabku santai.


“Semoga.”


Bukan jawaban itu yang kukira akan keluar dari mulutnya, biasanya dia akan tertawa atau pura-pura menangis, kali ini beda, kesannya dia akan benar-benar pergi, jauh, dan tak bisa menemuiku lagi. Kemudian keheningan menggantung di atas kami dan aku mulai khawatir.


Aku cukup tahu ada sesuatu yang berbeda dalam pertemuan kali ini, tapi aku tak mau tahu apa yang membuatnya berbeda, bukan karena tak peduli, karena hanya saja aku takut kalau kenyataan yang sebenarnya tak bisa kuterima, jadi aku memilih untuk diam, seperti yang selama ini kulakukan, diam untuk berdamai dengan perasaan.


“Sab, balik yuk, udah sore nih,” ia bangkit dari duduknya sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.


Aku pun berdiri dan ia mulai melangkah.


“Kak, tunggu!” jantungku berdegup tak beraturan, susah payah aku menahan agar kalimatku tak bergetar, dan entah kenapa dari sekian juta kata yang bersliweran di kepalaku, malah ini yang keluar “Ini…kita mainan gelembung sabun dulu ya?” tanganku yang menggengam botol itu menggantung di udara.


Dalam hati, seribu kali aku menyumpah, aku yang terkenal kalem dan gak suka neko-neko, sejak kapan ketularan ngeluarin ide gila kayak dia? Bahkan aku tak mampu melihat wajahnya. Mungkin sekarang dia juga tak mengira kalimat itu akan keluar dari mulut seorang Sabbiya Kiranna.


“Okey,” Ia meng-iya-kan.


Aku melihatnya berjalan ke arahku, senyumnya mengembang dan sekali lagi berhasil membuat hatiku mencelos, syukurlah Tuhan, bukan sebuah penolakan.
















Minggu, 02 Juni 2013

Without Words 13

cr: www.tumblr.com


Author: Febryana

BGM: Crazy Love-DBSK


sorry, this update is too late, n i don't know why i take yoochun picture, hahag, just because his smiles so charming maybe, kekeke. Enjoy this part, don't forget leave comments :D

***

“Mau kemana?,” sergah Yunho yang merasa terganggu dengan Changmin yang tengah berkaca di depan cermin, selera berpakaiannya memang tak pernah salah, batin Yunho agak kesal.


“Kau sedang tidak berpikir untuk berkencan dengan gadis Indonesia, bukan?” Yunho sedikit mengancam.


Changmin menarik ujung bibirnya, mulutnya bungkam, tangannya dengan lincah menata dasi yang melingkar di lehernya, bahkan pertanyaan Yunho tak dipedulikannya.


“Dengar, aku sedang tak ingin bertengkar, jadi bisakah kau tak memasang wajah pembunuh seperti itu? Sepertinya kau kehilangan kepekaan untuk merasa bersalah, Bocah!” 


Changmin mendesah, dipandanginya bayangan Yunho dari cermin di hadapannya, ia lalu menyambar jas hitamnya dan berbalik memandang hyung-nya itu.


“Tentang kebohonganku pada Boa sunbaenim, rasanya kau sudah pasti tahu alasannya, dan kurasa aku cukup benar untuk yang satu itu,” Changmin mengaitkan kancing jasnya. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini, pasti tidak jauh-jauh dari SMTown Jakarta yang baru saja berakhir sejam tadi.


Yunho memutar bola matanya, dirasanya Changmin sudah keterlaluan membohongi Boa di backstage tadi, tentang gangguan pencernaan itu, sungguh menggelikan, Yunho mendesis jengkel.


“Kau bukan anak-anak lagi, dan yang barusan kau lakukan, jelas itu sangat kekanak-kanakan.”


Changmin berdecak, ditatapnya mata Yunho dalam-dalam, “Kalau begitu bisakah kau percaya padaku sekarang?” 


Kini mereka berdua berdiri saling berhadapan dalam jarak selangkah, dan Yunho terpaksa agak mengangkat sedikit wajahnya, Changmin terlalu jangkung baginya.


“Bisakah kau memandangku sebagai seorang yang bisa dihandalkan, yang bisa menopangmu saat kau letih, yang selalu mendukungmu sekalipun seluruh dunia menghujatmu, yang bisa menjadi tempat pelarianmu saat kau terhimpit. Bisakah, hyung?”


Yunho mengerutkan keningnya, ini bukan pembicaraan yang diharapkannya.“Bocah, maksudku…”
 
“Aku tahu hyung. Dimatamu aku selalu menjadi anak kecil yang harus kau lindungi, aku tak pernah menyesal diperlakukan seperti itu, tapi sekali saja, bisakah kau memandangku bukan sebagai dongsaeng ringkih yang harus dikasihani? Aku dan kau, saat ini TVXQ hanya kita berdua, bukankah seharusnya akulah orang yang paling tepat untuk pelarianmu? Aku akan lebih terluka bila kau memilih orang lain untuk menumpahkan keluh kesahmu itu, dan sialnya itu menimpa Boa noona.” 

Changmin tertawa getir. “Nah, sekarang siapa yang keterlaluan?!” 


Tatapan Changmin begitu dalam, menusuk perasaan Yunho, benar, Changmin tak pernah salah, untuk beberapa detik mereka hanya berdiri terpaku, memandang satu sama lain, menyadari kalau apa yang terjadi sudah berhasil menyakiti keduanya, Yunho sadar, atas pilihannya untuk tidak membebani Changmin tak sepenuhnya bisa dibenarkan.


“Aku tak tahu, bocah, kurasa aku memang patut disalahkan atas semua ini,” ia berujar kemudian, memecah keheningan yang menggantung.


Changmin menghela nafas dan beranjak mengambil sepatunya, “Memang, dan kau harus membayarnya,” ujar Changmin sambil mengikat tali sepatunya.


“Heh?”


“Mulailah dengan berhenti memanggilku bocah!” Changmin berdiri dan meraih gagang pintu.


Kemudian pintu tertutup, Yunho tersenyum, dan bodohnya ia baru sadar kalau pertanyaan kemana dongsaeng-nya pergi belum terjawab.


***


“Sekarang sampai dimana kita?”


Changmin menghempaskan badannya ke sofa, ia melipat tangannya di depan dada, “Bagaimana kalau kau memberiku makanan dulu sebelum kita mengulas semua keruwetan ini?”


Yoochun meringis, Changmin memang tak pernah berubah, “Apa mereka tak pernah memberimu makan, Bocah?” 


Changmin meraih remote TV lalu mencari channel  dari negaranya, “Mereka ingin abs-ku tetap pada tempatnya, Hyung, dan itu menggelikan.”


Tawa Yoochun pun meledak, ia keluar dari pantry dengan membawa semangkuk ramyun, “Kurasa kau cukup menderita untuk urusan makanan.”


Changmin membelalakan matanya, ia mengeraskan volume TV, “Jae-hyung, benar-benar sudah gila!”


Yoochun yang mulai menyadarinya hanya bisa mencoba bersikap tenang, ia lalu menaruh mangkuk ramyun itu di pangkuan Changmin. “Makanlah, kalau dingin, tidak akan enak.”


Changmin meletakkan mangkuknya, saat ini baginya yang terpenting bukan urusan perut, tapi urusan Jae-hyung yang akan melakukan fanmeet di Indonesia, ia melempar tatapan bagaimana-kau-bisa-membiarkan-ini-terjadi? pada Yoochun.


“Aku tak bisa berbuat apa-apa, Changmin-ah,” Yoochun memijat tengkuknya, ia pun sudah kelelahan menghadapi orang tua yang satu itu.

“Dia itu… Semacam iri pada kalian,” bahkan ia pun tak mengerti atas sikap hyung-nya itu, berharap semoga kesimpulan yang ia ambil cukup untuk menghilangkan rasa penasaran dongsaeng-nya itu.


Changmin bergeming, ia lalu meraih mangkuk ramyun-nya, “Haah. Dasar dua orang tua menyusahkan!”


Yoochun juga ikut mendesah, mereka berdua adalah korban dari keruwetan Yunho dan Jaejoong, dan untungnya, mereka saling memahami kesulitan yang dialami masing-masing.


Keduanya terdiam untuk beberapa saat, beradu dengan pikiran masing-masing, antara lelah dan juga tak mau membiarkan ini berlarut-larut tanpa kejelasan.


“Bagaimana kalau kita biarkan saja mereka?”


“Maksudmu, Hyung? Kau tidak akan membiarkan keduanya jadi gila dan berakhir di rumah sakit jiwa, kan? Haha, itu bisa jadi lelucon paling menggelikan abad ini.”


Yoochun terkekeh geli, “Kurasa mereka hanya saling merindukan, Changmin-ah, membuat sensasi-sensasi untuk menggetarkan Cassiopeia, berharap tidak saling melupakan meskipun keduanya masih dikuasai ego masing-masing.” 

Yoochun menatap Changmin dengan serius, “Sungguh, mereka lebih kekanak-kanakan dari pada kita,” dan diakhiri dengan tawa Yoochun yang meledak ke penjuru ruangan.


Changmin terkikik, “Kurasa kau benar untuk yang satu itu.”


“Jadi bagaimana kalau kita juga mulai membuat sensasi Changmin-ah, tak selamanya YunJae berkuasa diatas kita, kita juga harus lebih membahana,” Yoochun menyeruput tehnya, “Kurasa ini bukan ide yang buruk.”


Changmin mulai penasaran dengan ide gila hyung-nya ini, “Kalau begitu apa yang akan kau lakukan? Aku berani bertaruh kau cukup gila untuk urusan seperti ini.”


“Kurasa aku akan memulainya di salah satu adegan drama terbaruku,” Yoochun melipat tangannya di depan dada, “Tapi, di bagian mana ya aku bisa melakukannya?”


Changmin sudah menghabiskan ramyun-nya, “Kau dalam masalah besar jika ratingnya turun gara-gara kegilaanmu itu.”


“Lalu, kau sendiri, apa yang akan kau lakukan?” Yoochun melempar pertanyaan pada Changmin.


Changmin mengelus-elus dagunya, “Kurasa Tokyo Dome bukan ide yang buruk.”


“Ya! Kau tak berniat membuat fans kita membabi buta lalu menghancurkan Tokyo Dome, bukan?” Yoochun menjitak kepala Changmin.


“Auch, sakit tahu!” Changmin mengelus kepalanya, “Tenang saja, Hyung. Kegilaanku masih pada batas tidak membahayakan, kau seharusnya khawatir pada kondisi mentalmu.”


Yoochun tertawa, “Kau benar, kau lebih hebat dari aku, Bocah…,” Yoochun mengelus kepala Changmin.


“Hentikan memanggilku, Bocah!”






Sabtu, 01 Juni 2013

Surat-Surat Terakhir



cr: beautiful-heart-love-romantic-Favim.com


Bonar melempar handuk kering ke arahku, berhasil membangunkanku dari lamunan, aku menatapnya kesal.
“Apa yang kau lakukan, Kawan? Bukankah tak sepatutnya kau melamun di saat genting seperti ini?”
Bonar menekankan pada kata genting, kalau aku bisa menuliskannya, kata itu harus dicetak tebal dan digaris bawahi, tentunya hanya aku yang tahu maksudnya.
“Entahlah, situasinya sudah berbeda,” jawabku singkat.
Bonar menghela nafas, kali ini lebih panjang, ia tak benar-benar mengerti maksud dari kalimatku, tapi baginya situasi tak pernah bisa mengalahkan hebatnya perasaan, “Kau sudah mempersiapkannya dari awal bulan, lalu apa yang kau khawatirkan, Kawan? Dua hari lagi hari itu akan tiba, hari yang kau tunggu-tunggu selama dua tahun terakhir ini, kau tak mau semuanya sia-sia kan?”
Bonar tak tahu apa-apa, aku pun tak mau menceritakan padanya, mungkin belum, yang ia tahu hanyalah tentang perasaanku ini, perasaan bodoh yang terlambat datang.
Aku menatap kosong ke depan, bayangan orang itu selalu muncul selama dua tahun ini, dan intensitasnya makin tinggi menjelang akhir bulan yang dimaksud Bonar, aku menggeleng, berusaha menghilangkan sebentuk senyum di dalam kepalaku, aku bangun, meninggalkan jejak tubuh pada rerumputan hijau tempatku berbaring menatap langit, bekas melamun.
“Ayo kita mulai lagi!” aku memungut bola yang ada di samping kakiku lalu membawanya ke tengah lapangan.
Bonar mendesah lagi, ia berdiri malas-malasan, “Lain kali jangan ajak aku bermain sepak bola kalau kau hanya berniat untuk meracau tentang perasaan itu,” ia tertawa mengejek.
Aku merangkul pundaknya, “Hanya ini obatnya, Kawan,” aku meringis, Bonar melenguh lemas.

***

Aku tepekur di meja kerjaku, pukul 23.15, sudah larut malam, dan aku masih berkutat di kantor.
“Mas, hari ini lembur juga?”
Seorang cleaning service berhenti di depan mejaku, benar seminggu ini aku sering pulang larut malam, aku hanya tersenyum dan bilang akan segera pulang sebentar lagi, mungkin lima belas menit lagi batinku, ia lalu pamit pergi. Aku melongok cangkirku, kosong, lalu menaruhnya kembali, enggan sekali untuk berjalan ke pantry meramu secangkir kopi, lagi pula sebentar lagi aku akan pulang, Bonar juga tak akan suka kalau aku terlalu lama menghabiskan waktu di kantor hanya untuk masalah itu seminggu terakhir ini, mungkin ini tak penting untuk Bonar dibandingkan dengan jadwal nonton bola bareng yang tak pernah kami lewatkan selama dua tahun belakangan, tapi ini penting bagiku, sangat penting, dan genting. Bonar tak tahu apa-apa, aku pun tak mau menceritakan padanya.
Aku berdiri, merapikan mejaku yang penuh kertas, memungut beberapa lembar, lalu memasukannya ke dalam tas kerja, malam ini selesai.

***

Satu hari lagi.
“Kau tak pernah terlihat se-nervous ini Tegar, rileks kawan, semuanya akan baik-baik saja,” ia kembali menyeruput kopinya.
“Entahlah, kurasa aku kehilangan keberanian,” entah bagaimana rupaku sekarang, tapi aku bisa melihat Bonar menatapku kasihan.
“Keberanian itu hanya perlu kesempatan, sialnya kau sudah melewatkannya hari ini,__dan kuharap kau tak berpikir bodoh untuk melewatkannya lagi besok.”
Aku tersenyum getir, “Besok?” tiba-tiba dadaku sesak, “Mustahil.”
Bonar memegangi dahinya, kurasa dia mulai pusing sekarang, untuk urusan perasaanku ini, memang mustahil ada jalan keluarnya kalau aku tetap saja diam. Sungguh ia tak tahu apa-apa. Hening sejenak.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” setelah berpikir keras, ia menyerah dan mengeluarkan pertanyaan yang seperti biasanya, pertanyaan final atas segala keruwetan ini.
“Entahlah,” jawabku singkat, tak menyelesaikan masalah sama sekali.
“Surat-surat itu?”
Aku meraih cangkir kopiku, menyesapnya sampai habis. Aku bergeming.

***

Aku tepekur di meja kerjaku, pukul 23.15, sudah larut malam, dan aku masih berkutat di kantor.
“Mas, hari ini lembur juga?”
Cleaning service itu menatapku heran, mungkin karena hari ini hari Sabtu, tidak seharusnya aku menghabiskan weekend-ku di kantor, seharusnya aku berlibur atau istirahat di rumah, aku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum, dan ia pun kemudian pergi.
Aku memijit tengkukku, pegal karena terlalu banyak menunduk, terlalu banyak menulis, hingga meja dan lantai di bawahku penuh dengan kertas, seminggu terakhir ini, menghabiskan waktu hingga larut malam, seperti yang sering diproteskan Bonar, hanya untuk masalah ini. Menulis surat.
Orang bilang, dengan menulis surat, semua akan menjadi lebih mudah, mungkin tidak bagiku, lembaran-lembaran kertas ini tak pernah bisa memudahkan urusan perasaan, setidaknya bukan untuk saat ini, mungkin semuanya akan menjadi mudah ketika aku berani mengirimkannya, dan seharusnya sudah kulakukan dua tahun yang lalu, saat kau bilang kalau surat adalah benda yang amat romantis, aku mengejekmu kekanak-kanakan dan  kau akan menggembungkan pipi, jengkel karenanya.
Sialnya, aku baru menyadarinya sekarang, kecewa karena dulu aku tak mau mendengarkanmu tentang ajaibnya surat itu, malah sibuk meniti karir dan bersikap santai saat tahu kau mengirimkan suratmu kepadaku, sebuah pernyataan perasaan, dan aku hanya menanggapinya dengan tertawa, karena kurasa kau sedang bercanda, semacam keusilan yang biasanya kau buat tiap hari ulang tahunku. Bahkan hingga berminggu-minggu setelahnya, aku masih saja tak peka akan itu.

***

Mobilku tepat berhenti di depan pagar bercat hijau, aku menoleh ke pintu rumah itu, rasanya sudah lama sekali aku tak mengetuknya, terakhir kali sebulan kemarin, saat aku membawakanmu kue ulang tahun, dan tepat saat itu satu bulan ini tak pernah menjadi mudah bagiku, sesak, resah, tak bisa tidur, aku sadar kalau aku sudah kehilangan, tentang kau yang akan menikah besok, aku tak bisa berbuat apa-apa, tentang keberanian yang ditanyakan Bonar, aku memang pengecut, dulu maupun sekarang, tentang perasaan ini, aku hanya bisa menghela nafas, tapi tetap saja terasa sesak, dan tentang rencanaku besok untuk melamarmu, mustahil.
Sekarang aku berdiri di depan pintu rumahmu, membawa surat-suratku yang sudah kumasukkan ke amplop yang lebih besar, aku tak berniat mengubah takdir, hanya saja ini hal terakhir yang harus kulakukan untuk berdamai dengan perasaanku, hal terakhir sebelum aku menyesal seumur hidup, aku tahu ini tak kan mengubah apapun, saat ini aku tak mau berharap, karena nantinya aku bisa kecewa lagi untuk kedua kalinya.
Kuletakkan amplop itu di depan pintu rumahmu, aku melangkah mundur, membiarkan mataku merekam ini untuk terakhir kalinya, memutar kembali senyumanmu yang selalu ramah menyambut kedatanganku, dan aku siap untuk menyimpan semuanya, aku membalik badan, melangkah menuju  mobilku yang terparkir di depan pagar. Aku tak kan lupa hari ini. Sungguh hanya pada Tuhan, aku serahkan urusan ini.
“Tegar?” suaramu memecah kesunyian malam, aku mematung di tempat, aku berbalik badan, biarlah untuk terakhir kalinya aku melihat senyuman itu. Sungguh sekali saja, ijinkan aku Tuhan.
Tapi bukan senyuman ramahmu yang kudapati, kau malah menangis tergugu di depanku.

Author: Febryana Puspa Wardani